JATIMTIMES - Pada awal abad ke-20, Hindia Belanda tidak hanya berfungsi sebagai koloni penghasil gula, kopi, dan minyak bumi, tetapi juga menjelma menjadi panggung imajinatif tentang “surga tropis” di mata Eropa.
Dalam berbagai katalog perjalanan yang diterbitkan pemerintah kolonial di Batavia, Jawa digambarkan sebagai tanah purba yang memesona, dipenuhi candi, gunung berapi, dan kebun tropis yang “tak tertandingi oleh negeri mana pun di dunia.” Di balik deskripsi yang tampak puitis itu tersembunyi strategi ekonomi dan politik: menjadikan tanah jajahan sebagai komoditas wisata.
Baca Juga : Bacaan Doa Tahun Baru 2026: Lengkap Doa Akhir dan Awal Tahun Beserta Waktu Membacanya
Dalam brosur berbahasa Inggris bertajuk “Come to Java”, yang dicetak oleh Official Tourist Bureau di Noordwijk 36, Batavia, kolonialisme menunjukkan wajah barunya: bukan lagi lewat senjata dan gula, melainkan lewat promosi keindahan. Seperti dikatakan dalam pengantarnya, brosur itu ditujukan “bagi siapa pun yang ingin mengenal Hindia Belanda bukan hanya dari hasil buminya, melainkan juga dari pesona alam dan adat kunonya.”
Bagi para pelancong Eropa, datang ke Hindia berarti menapaki dunia yang lain, dunia yang “eksotis, lembut, dan misterius.” Namun di balik kata-kata itu tersimpan hierarki rasial yang membedakan pengunjung dan tuan rumah, orang Eropa sebagai penikmat dan pribumi sebagai objek tontonan. Pariwisata kolonial dengan demikian bukan sekadar perjalanan, tetapi bagian dari sistem kekuasaan yang menormalkan ketimpangan.

Lahirnya Industri Wisata Kolonial
Awal abad ke-20 menandai lahirnya sistem pariwisata modern di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial mulai menyadari potensi ekonomi dari “keindahan alam tropis” yang selama ini hanya menjadi latar bagi eksploitasi perkebunan. Ketika jalan raya, rel kereta api, dan pelabuhan dibangun pada masa Politik Etis (1901), arus mobilitas manusia mulai meningkat: bukan hanya pegawai dan pedagang, tetapi juga pelancong.
Di Batavia, dibentuk sebuah lembaga semi-resmi bernama Biro Informasi Resmi Wisatawan (Official Tourist Bureau), yang bertugas mempromosikan perjalanan ke Hindia Belanda. Kantornya beralamat di Noordwijk 36, di jantung kota kolonial, berdekatan dengan kantor-kantor dagang besar dan hotel-hotel Eropa. Lembaga ini beroperasi di bawah pengawasan langsung pemerintah, namun dengan sistem non-profit; tugasnya adalah menyediakan informasi, brosur, dan peta perjalanan bagi wisatawan dari Belanda, Inggris, dan Amerika.
Salah satu publikasi terkenalnya adalah brosur “Come to Java” yang dijual seharga 1,25 florin. Di dalamnya terdapat panduan tentang cuaca, transportasi, daftar hotel, hingga jadwal kapal dari Singapura dan Batavia. Brosur tersebut memadukan narasi etnografis, panduan perjalanan, dan propaganda kolonial yang menampilkan Jawa sebagai taman budaya di bawah tata kelola Barat.
Dalam satu bagiannya tertulis:
“Jawa adalah tanah pribumi yang indah dan tua, di mana adat-istiadat kunonya diwariskan kepada beberapa generasi masyarakat dan pemimpin, meski sayang tak pernah dituliskan secara sistematis.”
Kalimat ini mengandung pandangan khas kolonial: menganggap kebudayaan lokal kaya namun ‘tak tertata’, sehingga perlu diperkenalkan dan “dijelaskan” kepada dunia melalui sudut pandang Eropa. Wisatawan menjadi saksi modernitas kolonial, sementara masyarakat pribumi menjadi lanskap kultural yang diam.

Infrastruktur Wisata: Dari Pesanggrahan ke Hotel Modern
Untuk menopang sistem pariwisata ini, pemerintah kolonial membangun jaringan infrastruktur yang luas. Di seluruh Jawa tercatat sekitar 200 hotel, mulai dari penginapan mewah di kota besar seperti Batavia, Bandung, dan Surabaya, hingga losmen desa kecil di pedalaman. Hotel-hotel besar dikelola oleh perusahaan swasta Eropa, sedangkan akomodasi sederhana umumnya dikelola oleh pegawai lokal.
Selain hotel komersial, pemerintah juga mendirikan pesanggrahan resmi, yaitu rumah peristirahatan bagi pegawai negeri yang sering berpindah tugas. Pesanggrahan tersebut kemudian dibuka secara terbatas bagi wisatawan asing dengan izin dari pejabat setempat seperti Residen Asisten, Controlleur, atau Wedana.
Fasilitasnya sederhana, terdiri atas tempat tidur kayu, makanan khas pribumi, dan udara pegunungan yang sejuk. Namun bagi banyak wisatawan Eropa, pengalaman semacam ini justru menjadi daya tarik, yakni “merasakan kehidupan pribumi tanpa kehilangan kenyamanan kolonial.” Dalam praktiknya, izin penggunaan pesanggrahan hanya diberikan di daerah yang belum memiliki hotel komersial agar tidak mengganggu keuntungan para pengusaha Eropa.
Sistem ini mencerminkan dua hal: pertama, bahwa pariwisata kolonial beroperasi dalam logika ekonomi yang terstruktur; dan kedua, bahwa pemerintah turut mengatur ruang gerak wisatawan dengan ketat, memastikan pengalaman yang “aman dan menyenangkan”.
Seperti halnya perkebunan, pariwisata merupakan bagian dari proyek pengelolaan ruang kolonial yang berupaya mengubah lanskap Jawa menjadi taman tropis yang dapat dijelajahi tanpa risiko.

Jawa sebagai Panggung Eksotisme
Bagi penulis brosur “Come to Java”, daya tarik utama Hindia Belanda terletak pada keindahan alam dan warisan kunonya. Candi Borobudur disebut sebagai “stupa besar yang unik dari jenisnya di dunia”, sementara Mendut, Prambanan, dan Kalasan dianggap “keajaiban seni religius India kuno”. Para arkeolog Belanda seperti J.L.A. Brandes dan F.D.K. Bosch memainkan peran penting dalam menafsirkan situs-situs itu sebagai monumen warisan Asia, bukan milik masyarakat Jawa semata.
Narasi arkeologi kolonial ini beriringan dengan promosi wisata: candi-candi yang digali dan dipugar oleh Archaeologisch Dienst (Dinas Purbakala) tak hanya menjadi objek penelitian, tetapi juga destinasi wisata. Wisatawan yang datang dengan kereta dari Batavia menuju Magelang dapat menyaksikan “sisa-sisa kemegahan Hindu Jawa”, di bawah panduan pemandu berbahasa Belanda.
Di sisi lain, keindahan alam digambarkan dengan metafora pastoral. Tanah Tinggi Priangan disebut sebagai taman di bawah garis katulistiwa, tempat seluruh corak dan warna kebun berpadu dengan udara pegunungan. Imaji ini menegaskan romantisme kolonial, yakni Jawa sebagai taman tropis yang jinak dan dikelola oleh tangan Eropa yang dianggap rasional.
Namun di balik lanskap itu, ada ketimpangan sosial yang dalam. Warga pribumi yang bekerja di hotel, pesanggrahan, atau sebagai pemandu sering kali hidup dalam upah rendah dan tak memiliki akses terhadap dunia wisata yang mereka layani. Mereka adalah buruh dalam industri imaji, melayani pelancong yang menikmati “eksotisme” tanah air mereka sendiri.

Pariwisata dan Modernitas Kolonial
Pariwisata di Hindia Belanda tidak dapat dipisahkan dari proyek modernitas kolonial. Sejak awal 1900-an, dengan meningkatnya penggunaan kereta api dan mobil, konsep waktu senggang mulai diperkenalkan dalam kehidupan masyarakat kolonial. Orang-orang Eropa di Batavia dan Bandung mulai melakukan perjalanan akhir pekan ke perkebunan teh, pantai Ancol, atau kawah Tangkuban Perahu.
Majalah seperti De Locomotief dan Bataviaasch Nieuwsblad memuat rubrik perjalanan, sementara perusahaan kereta api Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) menawarkan paket wisata ke Yogyakarta dan Solo lengkap dengan fasilitas hotel. Dengan cara itu, perjalanan menjadi bagian dari gaya hidup kolonial, simbol status dan keanggunan.
Namun modernitas ini bersifat eksklusif. Mobilitas wisatawan dibatasi oleh ras dan kelas sosial. Pribumi jarang sekali memiliki akses pada jaringan wisata resmi; bagi mereka, bepergian masih identik dengan ziarah, pasar, atau urusan kerja. Kolonialisme, dengan demikian, menciptakan dua dunia perjalanan: satu untuk menikmati, satu untuk melayani.

“Come to Java”: Propaganda dan Imajinasi Kekuasaan
Brosur “Come to Java” menjadi contoh paling nyata tentang bagaimana kolonialisme memasarkan dirinya. Dicetak dalam beberapa bahasa seperti Belanda, Inggris, dan Jerman, brosur ini disebarkan ke agen perjalanan di Amsterdam, London, dan Melbourne. Dalam setiap edisinya, Jawa digambarkan sebagai “pulau paling menarik di antara tanah-tanah Timur,” tempat di mana modernitas dan tradisi berpadu dalam harmoni.
Baca Juga : Wisata Kuburan Londo Malang Mati Suri Sejak Pandemi
Namun harmoni yang dimaksud sesungguhnya adalah hasil rekayasa kekuasaan. Melalui foto-foto indah candi, hamparan sawah, dan senyum para penari, kolonialisme menampilkan wajah yang lembut. Ia tidak lagi tampak sebagai penjajah, melainkan sebagai penjaga warisan budaya dan alam. Dalam pandangan pascakolonial, strategi ini dapat dibaca sebagai bentuk hegemoni kultural, yaitu cara mengubah kolonialisme menjadi pengalaman estetis yang dapat dinikmati dan dikonsumsi.
Di bawah permukaan wacana itu, “Come to Java” berfungsi sebagai propaganda halus. Ia menyembunyikan realitas kerja paksa di perkebunan, kemiskinan pedesaan, dan hierarki rasial di kota-kota besar. Wisatawan diajak memandang Jawa dari jendela hotel, bukan dari pandangan rakyatnya.

Wisata dan Ilmu Pengetahuan: Eksotisme sebagai Objek Ilmiah
Selain wisatawan, para ilmuwan dan antropolog juga tertarik datang ke Hindia. Dalam bahan kolonial disebutkan bahwa “bentangan luas wilayah yang terpapar sungguh menunggu disentuh oleh disiplin ilmu mereka.” Kalimat ini menunjukkan hubungan erat antara pariwisata dan ilmu pengetahuan kolonial.
Para etnolog, botanis, dan zoolog kolonial menjadikan Hindia sebagai laboratorium terbuka. Dari ekspedisi semacam itu, dunia mengenal Varanus komodoensis, kadal raksasa dari Pulau Komodo yang segera dipromosikan sebagai keajaiban Timur. Penemuan ini bukan semata bersifat ilmiah, melainkan juga wisatawi, ketika sains dan eksotisme berpadu dalam imajinasi kolonial tentang Nusantara.
Dengan begitu, kolonialisme memperluas makna “wisata” menjadi penjelajahan ilmiah, eksplorasi budaya, sekaligus konsumsi estetis. Di titik inilah pariwisata menjelma bagian dari colonial gaze, yaitu pandangan yang menundukkan dan menafsirkan dunia pribumi sebagai objek pengamatan.

Ekonomi Wisata dan Politik Ruang
Sistem pariwisata kolonial turut membentuk ruang ekonomi baru. Jalan raya yang menghubungkan Batavia, Bandung, dan Yogyakarta tidak hanya berfungsi untuk perdagangan, tetapi juga untuk arus wisatawan. Kota-kota pegunungan seperti Bandung, Malang, dan Tosari di kawasan Bromo dikembangkan menjadi tempat peristirahatan bagi orang Eropa yang ingin beristirahat dari panasnya Batavia.
Dalam struktur kolonial, ruang-ruang ini berfungsi ganda: meneguhkan segregasi sosial (karena hanya orang Eropa yang boleh menetap di daerah sejuk), sekaligus memperkuat citra “peradaban Barat di Timur”. Hotel Savoy Homann di Bandung atau Grand Hotel di Malang bukan sekadar bangunan; mereka adalah monumen modernitas kolonial yang menegaskan jarak antara penjajah dan yang dijajah.
Secara ekonomi, pariwisata juga meneguhkan ketergantungan: uang wisatawan mengalir ke perusahaan Belanda, sementara pekerja lokal tetap menjadi kelas bawah. Dalam catatan biro wisata tahun 1930-an, hampir seluruh pendapatan hotel besar di Jawa dikuasai oleh pemodal Eropa.
Dengan demikian, di balik senyum tropis dan pelayanan ramah, pariwisata menjadi bentuk baru eksploitasi ekonomi. Ia tampil lebih halus dibandingkan sistem perkebunan, namun tetap sama kuatnya dalam mereproduksi struktur kekuasaan kolonial.

Antara Eksotisme dan Nasionalisme: Bayang-Bayang Kemerdekaan
Menjelang 1930-an, ketika krisis ekonomi dunia melanda, industri wisata Hindia Belanda sempat mengalami penurunan. Namun pada saat yang sama, kesadaran baru muncul di kalangan kaum terpelajar pribumi. Bagi generasi Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Sutan Takdir Alisjahbana, citra Jawa yang eksotis mulai digugat. Mereka menilai bahwa pandangan kolonial terhadap kebudayaan pribumi sebagai “masa lalu yang beku” adalah bentuk penindasan kultural.
Setelah 1940, ketika Perang Dunia memutus jalur wisata internasional, brosur “Come to Java” berhenti beredar. Namun jejak wacananya tidak pernah benar-benar hilang, bahkan setelah Indonesia merdeka. Gagasan tentang “keindahan tropis”, “tanah yang ramah”, dan “penduduk yang bersahabat” terus diulang dalam promosi pariwisata nasional. Dengan cara itu, pariwisata modern Indonesia masih mewarisi pola imaji kolonial yang sama, menjual eksotisme kepada dunia tanpa sepenuhnya memberi ruang bagi suara lokal.

Warisan yang Tak Selesai
Sejarah pariwisata di Hindia Belanda menunjukkan bahwa perjalanan bukan hanya kegiatan ekonomi atau hiburan. Ia merupakan bentuk hubungan kekuasaan antara pihak yang melihat dan yang dilihat, antara mereka yang bepergian dan mereka yang dijadikan pemandangan.
Brosur “Come to Java” mungkin telah menjadi arsip masa lalu, tetapi semangatnya masih terasa: promosi tentang keindahan, keteraturan, dan keramahan yang menutupi kompleksitas sosial. Dalam perspektif historiografi poskolonial, membaca sejarah ini berarti membongkar wajah ganda pariwisata: sebagai jendela kebudayaan dan sebagai alat hegemoni.
Di satu sisi, kita dapat mengakui bahwa sistem wisata kolonial memperkenalkan konsep modernitas, infrastruktur, dan dokumentasi warisan budaya. Namun di sisi lain, kita tidak boleh lupa bahwa semua itu lahir dari struktur ketimpangan — di mana tanah air dijadikan pemandangan bagi orang lain.
Kini, ketika Indonesia menjual keindahannya kepada dunia melalui slogan “Wonderful Indonesia”, mungkin kita perlu mengingat asal-usulnya. “Come to Java” bukan sekadar undangan wisata; ia adalah cermin bagaimana kolonialisme menjadikan keindahan sebagai bahasa kekuasaan.
Sejarah pariwisata Hindia Belanda memperlihatkan betapa modernitas, ekonomi, dan kekuasaan bertemu dalam satu proyek besar, menjadikan Nusantara bukan hanya ladang produksi tetapi juga panggung bagi imajinasi Barat. Tugas kita kini bukan menolak warisan itu, melainkan menafsir ulang agar perjalanan tidak lagi berarti menonton, tetapi memahami.
