JATIMTIMES- Di tengah gemerlap Plaza Pondok Gede yang kini menjadi pusat keramaian, tersimpan kisah tentang Landhuis Pondok Gedeh, sebuah rumah besar nan megah yang menjadi saksi bisu sejarah panjang wilayah Jakarta Timur dan Bekasi.
Dibangun pada tahun 1775 oleh Pendeta Johannes Hooyman, bangunan ini menyimpan jejak kejayaan, perubahan zaman, hingga akhirnya rata dengan tanah pada tahun 1992. Namun, di balik kehancurannya, nama Pondok Gede tetap abadi sebagai pengingat akan warisan yang pernah ada.
Awal Mula Nama Pondok Gede
Baca Juga : Banjir Parah Rendam Wates dan Binangun Blitar, Puluhan Rumah dan Fasilitas Umum Terdampak
Nama Pondok Gede bukanlah sekadar istilah modern. Sebuah resolusi yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Baron van Imhoff pada 1 Februari 1746 mencatat keberadaan kawasan ini.
Dalam dokumen itu, Pieter van De Velde, seorang pejabat Raad van Indie (Dewan Hindia), diberikan izin untuk mengadakan pasar mingguan yang dikenal sebagai Pasar Rebo. Bersama dengan Kapitein Jawa, Soetawangsa, Van De Velde mengelola kawasan tersebut, yang kala itu merupakan lahan perkebunan tebu.
Nama Pondok Gede sendiri diyakini berasal dari ukuran rumah besar yang berdiri di kawasan tersebut. Penduduk sekitar menyebutnya sebagai “pondok yang gede,” sebuah istilah yang akhirnya menjadi nama kampung, mencakup wilayah yang kini dikenal sebagai Pondok Melati, Jatiwaringin, hingga Jatiasih.
Landhuis Pondok Gede: Perpaduan Jawa dan Belanda
Pada tahun 1775, Pendeta Johannes Hooyman membangun Landhuis Pondok Gedeh, rumah besar bergaya Indies yang memadukan arsitektur Jawa dan Belanda. Bangunan ini unik karena memiliki lantai satu bergaya Indonesia terbuka dengan serambi di ketiga sisinya, menyerupai konsep joglo. Sementara itu, bagian depan yang bertingkat dua menunjukkan gaya tertutup khas Belanda.
Menurut Adolf Heuken dalam bukunya Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, interior Landhuis ini mencerminkan cita rasa tinggi. Plesteran menghiasi beberapa ruangan, sementara pintu dan jendela memiliki detail ornamen yang mewah. Tak hanya megah, bangunan ini juga menjadi simbol kemakmuran pemiliknya, yang kala itu mengelola lahan perkebunan tebu di kawasan tersebut.
Masa Kepemilikan Leendert Miero
Pada awal abad ke-19, Landhuis Pondok Gede jatuh ke tangan Leendert Miero, seorang pengusaha kaya berdarah Yahudi. Miero menyewa lahan ini pada tahun 1800 dan kemudian berhasil memilikinya secara penuh pada tahun 1820. Ia melakukan renovasi besar, mengganti struktur kayu jati dengan beton, mempertegas gaya Indies yang dominan.
Leendert Miero tinggal di Landhuis hingga wafat pada 10 Mei 1834. Ia dimakamkan di pekarangan rumah tersebut, menjadikan Landhuis ini tidak hanya sebagai hunian, tetapi juga monumen bagi pemiliknya. Sayangnya, jejak sejarah ini turut hilang saat bangunan itu dihancurkan.
Perkembangan dan Kemunduran
Setelah kemerdekaan Indonesia, Landhuis Pondok Gedeh menjadi bagian dari aset Koperasi Angkatan Udara (Inkopau). Pada tahun 1988, Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta melakukan survei arkeologi di kawasan tersebut.
Dari survei itu, diketahui bahwa lahan Landhuis seluas 325 hektare pernah menjadi perkebunan sereh, kemudian berganti menjadi perkebunan karet, hingga akhirnya dikuasai oleh berbagai perusahaan swasta seperti CV Handel dan NV Pago Rado.
Baca Juga : Dari Dunia Bermusik, Kini Ahmad Dhani Minta Anak Muda Fahami Sejarah dan Nilai Sakral Pancasila
Meski tergolong bangunan cagar budaya, Landhuis Pondok Gedeh mulai terbengkalai pada akhir abad ke-20. Pada tahun 1987, Inkopau mengajukan rencana pembangunan pusat rekreasi dan perbelanjaan di lokasi tersebut. Mereka berjanji akan melestarikan Landhuis sebagai bagian dari taman rekreasi, tetapi janji itu tidak terealisasi. Pada tahun 1992, bangunan berusia lebih dari 200 tahun itu dihancurkan untuk memberi ruang bagi Plaza Pondok Gede.
Kenangan yang Tetap Hidup
Hancurnya Landhuis Pondok Gedeh menyisakan luka bagi para pemerhati sejarah. Bangunan yang pernah menjadi kebanggaan wilayah itu kini hanya tinggal nama. Meski demikian, jejak sejarahnya tetap hidup dalam literatur, dokumen, dan memori kolektif masyarakat.
Landhuis ini tidak hanya menggambarkan kejayaan masa lalu, tetapi juga menjadi pengingat akan tantangan melestarikan cagar budaya di tengah pesatnya pembangunan. Nama Pondok Gede yang kini digunakan sebagai nama jalan dan wilayah menjadi satu-satunya warisan nyata dari sejarah panjang kawasan ini.
Hilangnya Landhuis Pondok Gedeh mengajarkan pentingnya keseimbangan antara pembangunan modern dan pelestarian sejarah. Sebagai salah satu situs bersejarah yang sempat menarik wisatawan mancanegara, dari Australia hingga Belanda, bangunan ini seharusnya mendapat perhatian lebih.
Sejarah Landhuis Pondok Gedeh menunjukkan bahwa setiap sudut kota memiliki cerita, dan cerita itu layak untuk dijaga. Bangunan megah dengan perpaduan arsitektur Jawa dan Belanda ini mungkin telah lenyap, tetapi kisahnya akan terus menginspirasi upaya pelestarian situs-situs bersejarah lainnya.
Landhuis Pondok Gedeh bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah saksi bisu perjalanan zaman, mulai dari era kolonial hingga modernisasi Jakarta. Kehilangannya menjadi pelajaran penting tentang perlunya penghormatan terhadap sejarah. Nama Pondok Gede akan selalu mengingatkan kita pada megahnya rumah itu, sebuah simbol yang kini hanya hidup dalam kenangan dan catatan sejarah.