Menelisik Jejak Pangeran Purbaya: Dari Perang Batavia hingga Gegodog 1676
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
26 - Dec - 2025, 12:11
JATIMTIMES - Dalam arus sejarah Mataram abad ke-17, nama Pangeran Purbaya muncul berulang kali, melintasi garis waktu perang, intrik keraton, dan dokumen Belanda yang tersisa. Ia dikenal dalam cerita tutur Jawa sebagai sosok pembesar yang gigih, setia pada keluarga kerajaan, dan teguh mempertahankan kepentingan kemenakannya.
Sementara arsip Kompeni menampilkan sosok yang lebih kompleks, kadang sebagai oposisi, kadang sebagai panglima ulung. Kisah Purbaya bukan sekadar biografi seorang tokoh, melainkan jendela untuk memahami bagaimana legenda dan dokumen sejarah bersinggungan dalam mengungkap identitas seseorang di tengah kekuasaan dan konflik.

Kehadiran Purbaya di Perang Batavia 1628–1629
Menurut tradisi tutur Jawa dan sejumlah babad Mataram, Pangeran Purbaya tercatat turut ambil bagian dalam dua ekspedisi besar Mataram melawan VOC di Batavia pada tahun 1628 dan 1629, sebuah fase krusial dalam ambisi Sultan Agung Hanyakrakusuma untuk menundukkan pusat kekuasaan Belanda di Jawa. Dalam ingatan kolektif Jawa, Purbaya digambarkan sebagai salah satu panglima bangsawan yang memimpin pasukan dengan keberanian dan keteguhan laku, berdiri sejajar dengan nama-nama besar seperti Tumenggung Baureksa, Pangeran Mandurareja, dan Kiai Adipati Puger. Perannya tidak hanya bersifat simbolik sebagai darah kerajaan, tetapi juga terkait langsung dengan struktur komando militer Mataram yang mengerahkan puluhan ribu prajurit dari berbagai wilayah pesisir dan pedalaman.
Baca Juga : Jakarta Punya Ragunan, Jawa Timur Punya Taman Safari Prigen yang Tak Kalah Seru untuk Wisata Akhir Tahun
Keberadaan Purbaya dalam ekspedisi ini memperoleh konfirmasi penting dari arsip Belanda. Dalam surat Pemerintah Kompeni tertanggal 15 Desember 1629, tercantum nama seorang tokoh yang disebut sebagai “Quiay du InDrobaya, neve van de Mattaram”. Istilah neve dalam bahasa Belanda lazim dipakai untuk menyebut keponakan, sepupu, atau kerabat dekat, tanpa ketepatan genealogis yang ketat. Ketidakjelasan terminologis ini mencerminkan keterbatasan pemahaman pejabat VOC terhadap sistem kekerabatan Jawa, yang mengenal kategori seperti kakang, adhi, embah gedhe, atau embah cilik, yang tidak selalu dapat diterjemahkan secara linear ke dalam sistem Eropa.
Kesalahan tafsir inilah yang kerap menimbulkan kebingungan dalam membaca arsip kolonial. Dalam konteks Mataram abad ke-17, penyebutan Purbaya sebagai neve van de Mattaram tidak serta-merta menunjukkan hubungan biologis yang presisi, melainkan menegaskan posisinya sebagai anggota inti wangsa penguasa. Dengan mempertimbangkan konsistensi penyebutan Purbaya dalam sumber Jawa dan Belanda, besar kemungkinan bahwa Purbaya yang disebut dalam arsip VOC tahun 1629 adalah tokoh yang sama dengan Pangeran Purbaya, kakak Sultan Agung dari garis Panembahan Senapati dan Kanjeng Ratu Giring.
Konteks militernya pun sejalan. Pada serangan kedua tahun 1629, Mataram mengerahkan panglima-panglima bangsawan yang memiliki kedekatan genealogis dengan raja, termasuk Pangeran Mandurareja, Kiai Adipati Puger, dan Panembahan Purbaya, untuk memimpin pasukan dari berbagai arah. Meskipun dalam praktik komando lapangan banyak dikendalikan oleh tumenggung dan panglima profesional, kehadiran figur-figur darah kerajaan berfungsi sebagai peneguh legitimasi, pengikat loyalitas prajurit, dan simbol kesungguhan politik Sultan Agung dalam perang melawan VOC.
Kegagalan dua kali pengepungan Batavia, yang disebabkan oleh pertahanan VOC yang solid, sabotase logistik Belanda terhadap lumbung padi Mataram di Cirebon dan Tegal, serta wabah dan kelaparan di tubuh pasukan, tidak menghapus jejak keterlibatan Purbaya. Justru, keberadaannya yang terus tercatat tanpa pernah mengalami eksekusi atau hukuman mati, berbeda dengan nasib tragis sejumlah panglima lain seperti Tumenggung Sura Agul Agul, Pangeran Mandurareja, dan Kiai Adipati Upa Santa yang dihukum mati pascakegagalan ekspedisi Batavia, menegaskan posisi khusus Purbaya dalam struktur kekuasaan Mataram. Ia bukan sekadar panglima perang, melainkan figur senior wangsa yang berada di lingkar terdalam keluarga kerajaan.
Dengan demikian, kesesuaian antara cerita tutur Jawa dan arsip Belanda mengenai kehadiran Purbaya dalam perang Batavia 1628–1629 tidak dapat dipandang sebagai kebetulan. Sebaliknya, hal ini menegaskan bahwa tradisi Jawa menyimpan inti faktual yang, bila dibaca secara kritis dan disandingkan dengan dokumen kolonial, justru memperkaya pemahaman kita tentang peran Pangeran Purbaya sebagai panglima bangsawan, penjaga martabat dinasti, dan saksi hidup dari ambisi imperium Mataram pada puncak kekuasaannya.

Purbaya: Kakak, Paman, atau Embah Gedhe?
Pertanyaan identitas menjadi lebih rumit ketika Purbaya disebut berbeda dalam dokumen dan cerita. Pada tahun 1668, utusan Belanda Verspreet mencatat Purbaya sebagai “kakek putra mahkota”, yang dalam konteks Mataram berarti paman Sunan. Delapan tahun kemudian, saat Purbaya gugur dalam perang melawan Raden Trunajaya, surat Pangeran Adipati Anom kepada Syahbandar O. Ockersen menyebutnya sebagai paman, sementara surat kepada Gubernur Jenderal menyebut “paman tertua” (Daghregister, 5 dan 7 November 1676). Variasi ini kemungkinan besar adalah upaya menerjemahkan kata Jawa embah gedhe atau embah cilik, istilah yang menandai hubungan kerabat senior tanpa menyatakan posisi biologis yang tepat.
Dengan demikian, Purbaya adalah kakak Sultan Agung, meski dalam dokumen Belanda kadang diterjemahkan sebagai paman. Hal ini menekankan pentingnya membaca dokumen kolonial secara kritis, menyadari bias bahasa dan kultur, serta memahami bahwa istilah kekerabatan Jawa tidak selalu sejalan dengan sistem Eropa. Menurut Babad Nitik dan Cebolek, Sultan Agung adalah putra Panembahan Senapati dan Retna Dumilah, sedangkan Purbaya, yang terlahir dengan nama Jaka Umbaran, adalah putra pertama Senapati dari Kanjeng Ratu Giring, sehingga wajar jika ia disebut kakak Sultan Agung. Namun, secara umum, mayoritas sumber primer mencatat Sultan Agung sebagai putra Panembahan Hanyakrawati dan Ratu Mas Hadi, putri Pangeran Benawa, yang menempatkan Purbaya dalam posisi sebagai paman. Perbedaan ini menegaskan kompleksitas silsilah Mataram dan menunjukkan perlunya menafsirkan setiap sumber dengan cermat dan hati-hati.

Jejak Purbaya dalam Silsilah Mataram
Dalam Sadjarah Dalem, sebelum abad ke 17 tercatat sedikitnya empat tokoh yang menyandang nama Purbaya. Salah satu yang paling awal dan menonjol adalah Jaka Umbaran atau Raden Mas Damar, yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Adipati Purbaya I. Ia merupakan putra Panembahan Senapati dari seorang selir bernama Kanjeng Ratu Giring, yang bergelar Niken Purwasari atau Rara Lembayung, putri Ki Ageng Giring III atau Raden Mas Kertanadi, seorang tokoh pertapaan dan pemuka spiritual yang bermukim di wilayah Gunung Kidul. Melalui garis inilah, Purbaya tidak hanya terhubung langsung dengan wangsa pendiri Mataram, tetapi juga mewarisi legitimasi spiritual dari trah Ki Ageng Giring, sebuah garis tua yang sejak awal memiliki posisi penting dalam kosmologi kekuasaan Jawa.
Saat Sultan Agung naik tahta pada 1624, Purbaya diangkat menjadi panembahan. Generasi berikutnya mencatat kematian Panembahan Purbaya II dan penggantinya, Purbaya III, serta Pangeran Tumenggung Mataram yang menggantikan posisi tersebut. Dari catatan ini, dapat disimpulkan bahwa selama masa pemerintahan Sultan Agung hingga Amangkurat I, semua referensi tentang Purbaya merujuk pada satu tokoh utama, yaitu kakak Sultan Agung dan paman Susuhunan Amangkurat I.
Kejelasan identitas ini penting karena Purbaya kerap muncul dalam konflik internal maupun eksternal Mataram. Dalam kronologi antara 1646 hingga 1676, tidak terdapat catatan kematian Purbaya lain, meskipun ia cukup sering disebut dalam arsip Kompeni. Hal ini memperkuat hipotesis bahwa Purbaya yang sama, putra Panembahan Senapati, terlibat dalam seluruh peristiwa penting tersebut.

Purbaya dan Legenda Kesetiaan
Cerita tutur Jawa menempatkan Purbaya sebagai penjaga setia kemenakan, sosok yang menempatkan putra mahkota di atas dampar dan Sitinggil, serta memproklamasikan kemenakannya itu sebagai raja dengan gelar Paduka Yang Mulia Susuhunan Mangkurat Senapati ing-Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panatagama. Dalam konteks ini, putra mahkota yang dimaksud adalah Amangkurat I, sedangkan ayahnya adalah Sultan Agung. Kisah ini menekankan kesetiaan, pengorbanan, dan kehormatan, nilai-nilai spiritual dan ideologis yang melekat dalam elite Jawa.
Menurut Serat Kandha, Purbaya bahkan sempat duduk di tahta kerajaan dan menantang siapapun yang mencoba memperebutkannya. Namun, ia kemudian menempatkan Pangeran Adipati dari Mataram sebagai Susuhunan Amangkurat dari Mataram, dan dengan kerendahan hati duduk kembali di lantai. Semua yang hadir tercengang melihat kesetiaan dan pengorbanannya, yang diiringi doa syukur dari ulama dan pejabat tinggi. Momen ini bukan sekadar ritual, tetapi manifestasi nilai politik dan spiritual Mataram: kesetiaan kepada keluarga kerajaan dan tata harmoni kosmik kerajaan.

Purbaya dalam Dokumen Kompeni
Dokumen Belanda menampilkan wajah Purbaya yang berbeda. Ia sering tergolong pihak oposisi, terutama dalam catatan selama pemberontakan Raden Trunajaya. Dalam arsip Kompeni, Purbaya muncul sebagai panglima yang tangguh, cermat, dan kadang menentang keputusan Amangkurat I atau pihak keraton lainnya. Kontras ini menunjukkan bahwa narrative politik kolonial berbeda dengan legenda lokal, tetapi kedua perspektif tersebut tidak saling meniadakan. Mereka justru memberikan lapisan pemahaman lebih lengkap tentang Purbaya: seorang tokoh strategis yang menghadapi dilema loyalitas dan kekuasaan.

Gugurnya Purbaya di Gegodog 1676
Puncak sejarah Purbaya terjadi pada 13 Oktober 1676, saat ia gugur dalam pertempuran di Gegodog melawan pasukan Raden Trunajaya dan laskar Makassar. Usia lanjut dan pengalaman panjang dalam militer membuatnya menjadi sosok berwibawa yang dihormati di medan perang. Kematian ini menandai akhir era Purbaya sebagai panglima tua, kakak, paman, dan penjaga tahta, serta menegaskan bahwa legenda dan fakta sejarah terkadang bertemu pada titik pengorbanan dan pengabdian tertinggi.

Makna Historis dan Ideologis
Pangeran Purbaya adalah contoh yang menonjol tentang bagaimana politik, dendam sejarah, dan spiritualitas membentuk tindakan elite Jawa. Dalam konteks perang Batavia, ia mewakili perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Dalam cerita tutur, ia menjadi simbol kesetiaan, pengorbanan, dan legitimasi monarki. Sementara dalam dokumen Kompeni, Purbaya muncul sebagai tokoh strategis yang kadang menentang, kadang mendukung, mencerminkan kompleksitas elite Jawa menghadapi tekanan internal dan eksternal.
Perbedaan sebutan kakak atau paman menekankan pentingnya memahami konteks linguistik dan kekerabatan Jawa, serta bagaimana dokumen kolonial dapat mengaburkan makna asli. Hal ini menjadi pelajaran historiografi penting: sejarah bukan sekadar fakta, tetapi interaksi antara bahasa, budaya, dan perspektif politik.

Perang Trunajaya sebagai Perang Keluarga Elite Mataram
Berdasarkan kronologi peristiwa yang dapat diverifikasi, seluruh penyebutan nama Purbaya hingga tahun 1676 merujuk pada satu tokoh yang sama. Ia telah tampil dalam sumber Jawa dan arsip VOC sejak masa awal ekspansi Mataram. Pada tahun 1628 hingga 1629, Purbaya tercatat ikut serta dalam ekspedisi militer Mataram menyerang Batavia. Pada tahun 1624, bertepatan dengan penobatan Sultan Agung, ia memperoleh gelar panembahan, sebuah peneguhan status sebagai bangsawan inti dan panglima senior kerajaan.
Sejak wafatnya Sultan Agung tahun 1646 hingga meletusnya Perang Trunajaya, nama Purbaya terus muncul secara konsisten dalam arsip Kompeni, laporan pejabat Belanda, serta tradisi tutur Jawa. Pada tahun 1668, utusan VOC bernama Verspreet secara eksplisit menyebut Purbaya sebagai kakek dari putra mahkota Mataram, sebuah keterangan yang menegaskan posisinya sebagai figur lintas generasi di pusat dinasti. Rangkaian data ini berakhir pada tahun 1676, ketika Purbaya gugur dalam pertempuran di Gegodog saat menghadapi pasukan Raden Trunajaya.
Kesinambungan data ini menegaskan bahwa tidak terdapat pergantian tokoh atau tumpang tindih identitas. Perbedaan penyebutan dalam sumber Belanda dan Jawa tidak menunjukkan keberadaan beberapa Purbaya, melainkan mencerminkan sudut pandang penulis yang berbeda. Arsip kolonial menyoroti peran administratif dan militer, sementara tradisi Jawa menekankan makna genealogis dan spiritual.
Baca Juga : SBS Gayo Daejeon 2025 Tayang 25 Desember, Ini Cara Nonton dan Line Up Lengkapnya
Jejak Purbaya dari ekspedisi Batavia hingga gugurnya di Gegodog memperlihatkan bahwa Perang Trunajaya bukan konflik antara pusat dan pinggiran, melainkan perang keluarga di jantung elite Mataram. Purbaya bukan sekadar panglima, tetapi kakak Sultan Agung, paman raja generasi berikutnya, serta simpul utama jaringan kekerabatan yang menghubungkan istana dengan wangsa wangsa lama Jawa Islam.
Fakta paling menentukan terletak pada jaringan perkawinan. Purbaya I menikahi Raden Ayu Panembahan Purbaya, seorang perempuan keturunan langsung Panembahan Agung Kajoran atau Sunan Kajoran. Garis keturunan ini diturunkan melalui ayahnya, Raden Suroso atau Pangeran Agus, putra Sunan Kajoran, serta melalui ibunya, Roro Subur, putri Ki Ageng Pemanahan. Dengan demikian, darah Kajoran mengalir secara sah dan langsung ke dalam wangsa Purbaya, menyatukan tradisi spiritual Wali Songo dan aristokrasi awal Mataram dalam satu tubuh genealogi.
Ikatan ini memiliki bobot politik yang besar. Dari garis yang sama pula lahir Panembahan Rama, figur sentral Wangsa Kajoran abad ketujuh belas yang kelak tampil sebagai pemimpin oposisi utama Mataram dalam Perang Trunajaya. Melalui Raden Ayu Kajoran, istri Panembahan Rama, garis ini menurunkan Nimas Ayu Wulan, yang dalam sejumlah sumber babad dicatat sebagai salah satu permaisuri Susuhunan Amangkurat I.
Versi lain menyebut RAy Panembahan Raden, putri Pangeran Raden dari Kajoran dengan Raden Ayu Wangsa Cipta, putri Panembahan Senapati. Ia menikah dengan Panembahan Raden, putra Pangeran Mas dan cucu Pangeran Benowo dari Pajang. Dari perkawinan inilah lahir Kangjeng Ratu Wetan, yang juga dikenal sebagai Ratu Mas Pelabuhan, dan secara konsisten dicatat dalam tradisi babad sebagai permaisuri kedua Susuhunan Amangkurat I. Dari rahim Kangjeng Ratu Wetan inilah lahir Raden Mas Wangsa Truna, yang kelak naik takhta sebagai Susuhunan Pakubuwana I, pendiri garis raja Surakarta.
Dengan demikian, meskipun sumber babad mencatat dua versi mengenai identitas permaisuri Amangkurat I, keduanya sama sama berakar pada Wangsa Kajoran. Fakta ini menegaskan paradoks politik Mataram, ketika Kajoran diposisikan sebagai musuh negara, namun pada saat yang sama justru diserap ke dalam inti wangsa melalui perkawinan dinasti.
Kajoran sendiri bukan kekuatan pinggiran. Wangsa ini berakar pada Sunan Ampel, Sunan Tembayat, dan Bathoro Katong, serta sejak abad ke 16 telah terhubung secara langsung dengan Pajang dan Mataram melalui pernikahan politik. Putri Panembahan Agung Kajoran, Raden Ayu Kajoran, menikah dengan Panembahan Senapati. Generasi berikutnya dari wangsa ini terikat melalui perkawinan dengan Purbaya dan Wiramenggala, sementara salah satu putri Panembahan Kajoran dinikahkan dengan Raden Trunajaya. Dengan konfigurasi kekerabatan semacam ini, Trunajaya bukan musuh dari luar, melainkan menantu Kajoran sekaligus kerabat jauh wangsa Purbaya dan inti dinasti Mataram sendiri.
Dalam konteks ini, Perang Trunajaya adalah letupan konflik genealogis yang telah lama terpendam. Ia mempertemukan cabang cabang keluarga besar Mataram yang memiliki klaim legitimasi berbeda terhadap kekuasaan dan kesucian. Kajoran tampil sebagai penjaga warisan spiritual dan genealogis lama. Purbaya berdiri sebagai jembatan darah antara wangsa tersebut dan dinasti penguasa. Trunajaya menjadi figur militer yang mengeksekusi konflik internal ini di medan perang.
Dengan membaca Perang Trunajaya melalui data silsilah, perkawinan, dan arsip abad ke 17, konflik ini tidak lagi dapat dipahami sebagai pemberontakan daerah Madura terhadap Mataram. Ia adalah perang saudara di tubuh elite Jawa, di mana darah bangsawan berhadapan dengan darah bangsawan, dan legitimasi lama berhadapan dengan kekuasaan baru.
VOC membaca perang ini sebagai peluang strategis. Namun bagi para pelakunya, perang ini adalah soal kehormatan keluarga, hak waris kekuasaan, dan kebenaran spiritual. Ketika Kajoran, Purbaya, Wiramenggala, dan Trunajaya bergerak, yang bergerak bukan laskar tanpa akar, melainkan jaringan wangsa yang merasa disingkirkan oleh absolutisme istana Amangkurat I.
Dalam kehancuran perang keluarga inilah Mataram kehilangan keseimbangan internalnya. Negara melemah bukan pertama tama karena kekuatan asing, melainkan karena perpecahan darahnya sendiri. Dari celah inilah kekuasaan kolonial masuk dan perlahan mengisi ruang yang ditinggalkan oleh runtuhnya konsensus genealogis dan spiritual Jawa abad ke 17.

Jejak Terakhir Pangeran Purbaya: Makam dan Masjid Wotgaleh
Jejak terakhir Pangeran Purbaya bersemayam di Wotgaleh, tidak jauh dari Bandara Adi Sucipto, tepatnya di Jalan Raya Berbah, Sendangtirto, Berbah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kompleks makam keramat ini dipercaya sebagai tempat peristirahatan sang panglima sekaligus kakak Sultan Agung, figur yang dalam ingatan Jawa dikenang bukan karena takhta, melainkan karena kesetiaan, keteguhan laku, dan kebijaksanaan dalam menghadapi badai kekuasaan.
Di sisi makam berdiri Masjid Sulthoni Wotgaleh, bangunan cagar budaya yang didirikan pada masa awal Kerajaan Mataram Islam sekitar tahun 1600 Masehi dan termasuk dalam jaringan Masjid Pathok Negoro. Terletak di Dusun Noyokerten, Kalurahan Sendangtirto, Kapanewon Berbah, masjid ini mempertahankan arsitektur khas Mataram dengan empat saka guru yang menopang atap utama, umpak batu asli, serta tumpangsari yang meskipun telah mengalami penambahan kayu dan pernis tetap memancarkan wibawa estetika tradisional. Lanskap ini merekam pertemuan antara kekuasaan, spiritualitas, dan memori keluarga bangsawan Jawa.
Keberadaan makam dan Masjid Wotgaleh tidak sekadar menandai ruang ziarah, melainkan menjadi penanda kontinuitas nilai spiritual, politik, dan budaya yang melekat pada sosok Pangeran Purbaya. Di tempat ini tergambar harmoni khas kosmologi Mataram hubungan antara darah raja, kesetiaan keluarga, dan praktik religius yang berakar kuat di tengah masyarakat. Wotgaleh bukan ruang beku, melainkan lanskap hidup tempat ingatan tentang Purbaya terus berdenyut dalam ritme sejarah.
Pada titik inilah Pangeran Purbaya menempati posisi kunci dalam historiografi Jawa abad ke 17. Ia bukan sekadar nama dalam arsip VOC atau tokoh dalam babad, melainkan simpul sejarah tempat legenda, dokumen, dan politik bertemu, berdiri di antara perang dan istana hingga meletupnya Perang Trunajaya.
Jejak hidupnya menegaskan bahwa sejarah Mataram tidak hanya dibentuk oleh raja yang bertahta, tetapi juga oleh figur penjaga keseimbangan yang memilih setia dan berkorban di saat kekuasaan terancam pecah.
Selama Wotgaleh masih berdiri, kisah Pangeran Purbaya akan terus mengingatkan bahwa dalam sejarah Jawa, batas antara legenda dan kenyataan selalu berkelindan dan menunggu untuk dibaca dengan jernih.
